Solusi Relativisme Bagi Budaya
Pemakaman Suku Toraja di Sulawesi
![url](file:///C:/Users/RIZZATI.COM/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
O
L
E
H
SASNITA SARI : 01.14.076
DOSEN
: HOLIPAH, S.Sos. M. Si
SEKOLAH
TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
CANDRADIMUKA
PALEMBANG
2014/2015
KATA PENGATAR
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Solusi
Relativisme Bagi Budaya Pemakaman Suku Toraja di Sulawesi”. Makalah ilmiah
ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat
penilaian pada mata kuliah Antropologi Sosial. Makalah ilmiah ini merupakan
laporan hasil analisis kami mengenai Budaya Suku Toraja.
Pada
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada “Ibu Holipah, S.Sos. M. Si ” sebagai
dosen Mata Kuliah Antropologi Sosial yang telah memberi bimbingan kepada kami
selama pembuatan makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami berikan kepada
keluarga, teman-teman, dan kakak tingkat yang telah memberikan dukungan baik
moril maupun materil kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Kritik konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir
kata kami mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Palembang,
Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR..ii
DAFTAR ISI. iii
BAB I
PENDAHULUAN.. 1
1.1
Latar Belakang. 1
1.2
Tujuan. 2
1.3
Rumusan Masalah. 2
BAB II
PEMBAHASAN.. 3
2.1 Asal usul Tana Toraja. 3
2.1.1 Asal Tana Toraja. 3
2.1.3 Kondisi Ekonomi Tana Toraja. 3
2.1.3 Kelembagaan Tana Toraja.
4
2.2 Budaya Tana Toraja. 7
2.3 Solusi Relativisme. 8
BAB III
PENUTUP. 11
3.1 Kesimpulan. 11
3.2 Saran. 11
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu
Negara yang terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai
Marauke. Hamparan pulau yang di dalamnya terdapat begitu banyak kekayaan alam
dan sumber daya manusia menjadikan Indonesia negeri yang banyak disorot.
Rempah-rempah, budaya, dan adat istiadat Indonesia menjadi daya tarik tesendiri
bagi Negara lain untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak hanya Negara lain, banyak
dari anak bangsa juga yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai
kekayaan yang dimiliki Indonesia. Satu diantaranya adalah keanekaragaman dari
suku yang terdapat di Indonesia.
Indonesia
terdiri dari beragam suku bangsa dengan adat istiadat yang unik. Namun
terkadang keunikan yang dimiliki dalam budaya suatu suku bangsa itu tidak
relevan dengan kehidupan dewasa ini. Hal ini terlihat pada budaya Suku Toraja.
Suku Tana Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian Utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To
Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari
Agama Hindu Dharma.
Seperti
daerah-daerah lainnya di Indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang
panjang dan tentu saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Pola kehidupannya pun tidak kalah menarik dengan suku-suku lain yang
ada di Indonesia. Hingga sekarang suku Tana Toraja tetap menjaga kelestarian
budayanya. Di wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat
terkenal , yaitu upacara adat Rambu solo’ (upacara untuk pemakaman)
dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat
Rambu Tuka.
Dalam
adat Tana Toraja upacara Rambu solo menjadi suatu budaya yang sangat
penting kedudukannya dalam adat Tana Toraja. Upacara Rambu solo menghabiskan
dana besar dan menyembelih kerbau dalam jumlah relative sangat banyak.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan ekonomi Indonesia saat ini budaya
ini menjadi tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Hal ini dikarenakan
kondisi pangan Indonesia yang sedang mengalami masa-masa kesulitan.
Sampai saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional melalui pencapaian
swasembada pangan lima komoditas strategis, yaitu beras, jagung, kedelai,
daging sapi dan gula, belum memperlihatkan hasil yang optimal. Situasi tersebut
tercermin dalam tingkat ketersediaan beberapa pangan komoditas pangan domestik
yang masih tergantung pada impor, yaitu kedelai sekitar 70 persen, gula
sekitar 54 persen, dan daging sapi sekitar 20 persen. Untuk beras dan
jagung, impornya tidak terlalu besar yaitu hanya sekitar 11 persen untuk
jagung dan 5 persen untuk beras. Oleh karean itu dibutuhkannya suatu
kajian dan solusi relativisme dalam penyelesain masalah ini agar budaya adat
Tana Toraja tetap terlaksana namun dapat membantu kondisi Indonesia saat ini.
1.2 Tujuan
Tujuannya adalah menganalisis budaya
upacara pemakaman Suku Tana Toraja yang cenderung menghabiskan banyak biaya dan
berlebihan dalam penggunaan sumber daya hewan untuk melakukan upacara
pemakaman, sehingga dapat dihasilkan solusi relativisme agar budaya pemakaman
tersebut dapat relevan dengan kehidupan saat ini tanpa mengubah budaya asli
Tana Toraja.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan
paparan diatas maka kami merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Mengapa upacara pemakaman suku toraja penting dilakukan?
2.
Bagaimana cara agar upacara pemakaman tersebut tetap berlangsung dengan biaya
yang dapat diminimalisir dan penggunaan sumberdaya dengan cara yang bijak tanpa
menghilangkan budaya?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Asal usul Tana Toraja
2.1.1 Asal Tana Toraja
Kata
toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di
negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun
1909. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya =
dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan
penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga
tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Toraja adalah
suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di
Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan
kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu
Dharma.
2.1.3 Kondisi Ekonomi Tana Toraja
Budaya
Toraja masih mengenal yang dinamakan dengan sistem kelas sosial, Ada tiga
tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan
dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Sikap
merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga
saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum
bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal ditongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di
dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh
menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam
keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang
mengadakan perayaan kematian. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik,
dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi
dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang. Meskipun didasarkan
pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang
dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah
kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Ketiga
golongan lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau pedoman yang dijadikan
sendi bagi kebudayaan kehidupan sosial masyarakat Toraja, terutama dalam
interaksi dan aktifitas masyarakat, seperti pada saat diselenggarakan upacara
perkawinan, pemakaman, pengangkatan ketua atau pemimpin adat dan sebagainya.
2.1.3 Kelembagaan Tana Toraja
Sebelum
memasuki kelembagaan budaya Toraja terdapat aturan-aturan dasar yang ada di
Tana Toraja yaitu :
Visi
To Lembang dan Aluksanda Pitunna ada 2 (dua) prinsip dasar yang mengatur tata
kehidupan To Lembang yaitu: Hubungan antar manusia yang dinamakan
Penggarontosan, Hubungan manusia dengan sumberdaya alam yaitu Aluk Sanda
Pitunna atau Tallu Lolona.
a.
Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :
- Misa ada dipotuo pantan kada
dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)
- Sipakaele, disirapai (saling
menghargai dan musyawarah)
- Hidup bagaikan ikan masapi
(hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan).
- Visi Tallu Lolona Aluksanda
Konon
To Lembang dari daerah asalnya dibekali aturan yang dinamakan Aluksanda
Pitunna, aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alamnya serta
manusia dengan dalam komunitas (Sang Lembang). Filosofi Aluk Sanda Pitunna
adalah “Tallu Lolona,” artinya bahwa di atas bumi persada terdapat 3 (tiga)
unsur kehidupan yang tumbuh dan berkembang biak, saling hidup-menghidupi yaitu
: Lolo Tau (manusia), Lolo Patuoan (hewan) dan; Lolo Tananan (tumbuhan).
Ketiga unsur ini saling berkaitan yang diatur melalui Aluk Sanda Pitunna.
Komunitas
atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai
struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan Tongkonan dan dipimpin oleh
Pemangku Adat atau To Parenge.
Sejak
dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat
mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :
- Hidup berkelompok dalam suatu
komunitas yang dinamakan Lembang
- Ada pemimpin atau yang dituakan
dan;
- Nilai demokrasi melalui
Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse batu mapipang).
Lembang
tersebut membuat struktur dan aturan-aturan yang disepakati bersama melalui
Kombongan yang diselenggarakan di Rumah Tongkonan. Kombongan inilah yang
merupakan Lembaga pengambil keputusan tertinggi. Kewenangan Kombongan diberi
arti dengan ungkapan Untesse Batu Laulung (kombongan dapat memecahkan batu
pualam). Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang
mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua
Puan, maka salah satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang
dinamakan Kombongan.
Pada
saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke generasi. Semboyan
Kombongan yaitu “Untesse batu mapipang” artinya dapat
memecahkan batu cadas yang mempunyai makna bahwa apapun dan bagaimanapun
asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau membuat aturan
adat yang baru. Hasil Kombongan setelah disahkan merupakan adat. Prinsip
tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga dimanapun mereka berada
di seluruh Nusantara hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap dipertahankan.
Motto, “Kada Rapa dan Kada Situru” (kesepakatan dan persetujuan)
yaitu :
- Kombongan Kalua Sang Lepongan
Bulan
- Kombongan Kalua meliputi
seluruh Lembang
- Kombongan Karopi dalam tiap
Karopi
- Kombongan Saroan dalam kelompok
basis di bawah Karopi
Kombongan
kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung), kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan
memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Oleh karena
pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan
dari masing-masing kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.
Kombongan
kalua sang lembangan, kombongan
yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap
tahun atau apabila ada hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh
pemuka To Parenge bersama pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam
persidangan sangat terbuka dan bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan
pendapat namun pengambil keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan
mufakat.
Kombongan
Karopi di tingkat Karopi dinamakan
Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar
lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan
dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan
tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga
kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat
meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam
wilayahnya. Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah,
mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat.
Kombongan
Soroan, kombongan yang menyangkut aturan
lokal dalam wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan
antara lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar
RT. Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan
gotong-royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas
tanah atau hutan.
2.2 Budaya Tana Toraja
Di
wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal ,
yaitu upacara adat Rambu solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara
Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka.
Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun Rambu solo’
diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam
ragamnya. Dalam adat Tana Toraja upacara pemakaman merupakan ritual yang
paling penting dan berbiaya mahal diantara upacara-upacara yang telah
disebutkan sebelumnya. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya
upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga
bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Seluruh
upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu
ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan yang berasal
dari kerabat-kerabat namun sumbangan itu bersifat hutang sehingga harus dibayar
kembali ketika ada kerabat yang kehilangan keluarga. Besar kecilnya upacara
mencerminkan tingkat kekayaan suatu keluarga. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian,
lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman
anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara
pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu
yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap
menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan
itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah
tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan kePuya.
Bagian
lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan
dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja
percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan
lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau.
Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara
pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para
tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga
almarhum.
Ada
tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu
berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam
batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar
beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah
seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau taubiasanya
diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak
digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama
setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
2.3 Solusi Relativisme
Budaya
Toraja memiliki prinsip dasar dalam mengatur tata kehidupan, yaitu mengatur
hubungan antara manusia dan sumber daya alam. Tata kehidupan yang mengatur
sumber daya tersebut salah satunya adalah hubungan antara manusia dengan hewan,
yang dikenal dengan Lolo Patuoan. Dalam perayaan upacara pemakaman
budaya Toraja, masyarakat menggunakan kerbau sebagai syarat perayaan pemakaman.
Sekitar 24 – 100 ekor kerbau yang dibeli dengan harga 10 – 50 juta per ekor
untuk kaum bangasawan sedangkan untuk kaum menengah adalah sekitar 8 ekor
kerbau dan 50 ekor babi.
Berakar
pada kondisi sosial budaya Toraja yang cenderung berlebihan dalam penggunaan
sumber daya hewan tersebut, maka kami mengusulkan solusi relativisme melalui
fungsi kelembagaan yang ada pada masyarakat Toraja. Solusi tersebut
dilakukan dengan menggunakan fungsi demokratis yang dimobilisasi oleh ketua
adat dalam forum musyawarah sesuai dengan Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :
- Misa ada dipotuo pantan kada
dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)
- Sipakaele, disirapai (saling
menghargai dan musyawarah)
- Hidup bagaikan ikan masapi
(hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan).
Forum
musyawarah dalam adat Toraja itu disebut dengan Kombongan Karopi di
tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila
ada hal yang khusus antar lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil
kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan
demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas
berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini
kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas
pelaksanaan adat dalam wilayahnya. Yang dibahas adalah aturan adat yang
berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan
masyarakat. Kombongan Karopi ini dapat digunakan untuk membahas kembali
aturan adat berlaku yaitu aturan upacara adat pemakaman yang bertolak belakang
pada sistem kekerabatan Tana Toraja yang berarti bahwa keluarga besar saling
menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan
hutang.
Selain
itu, dewasa ini budaya seperti itu kurang relevan dengan kondisi pangan yang
ada di Indonesia saat ini. Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok
kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat
di Tana Toraja. Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong
sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya
genetika) asli itu terancam kelestariannya, hal ini menjadi salah satu
permasalahan yang ada di adat Tana Toraja. Badan Intelijen Negara
Republik Indonesia mengatakan bahwa Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241
juta lebih dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya
beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang semakin
membaik, menyebabkan permintaan pangan bertambah dalam jumlah, mutu dan
keragamannya. Sementara, pertumbuhan kapasitas produksi pangan domestik
menghadapi hambatan, karena adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan
infrastruktur pangan yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai,
serta iklim usaha yang kurang kondusif.
Hal
inilah yang menjadi ancaman krisis pangan di Indonesia, sehingga dengan
mengurangi penggunaan sumber daya hewan kerbau pada upacara pemakaman adat
Toraja diharapkan dapat menyelamatkan kita dari krisis pangan yang melanda
Indonesia saat ini.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem upacara adat pemakaman Tana Toraja
menggunakan biaya yang sangat besar dan berlebihan dalam penggunaan sumber daya
hewan khususnya kerbau. Sistem adat pemakaman Tana Toraja menggunakan kerbau
yang diperoleh dari biaya sendiri keluarga yang ditinggalkan dan sumbangan dari
kerabat. Namun ternyata sumbangan ini dinilai sebagai hutang yang suatu wajib
dibayar oleh keluarga yang ditinggalkan kepada para kerabat yang telah
memberikan sumbangan. Dalam adat Tana Toraja ternyata konsep sistem kekerabatan
bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual
kerbau, dan saling membayarkan hutang itu sangat bertolak belakang.
Penggunaan
kerbau yang terlalu berlebihan dalam adat pemakaman Tana Toraja juga dapat
menyebabkan krisis pangan di Indonesia. Kesulitan pembiakan dan kecenderungan
untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah
(sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya. Hal ini menjadi salah
satu permasalahan yang ada di adat Tana Toraja, sehingga perlu dilakukan
pengurangan dalam penggunaan sumber daya hewan secara bijak.
3.2 Saran
Saran yang kami berikan berdasarkan
solusi relativismedalam adat Tana Toraja perlu dimuculkan kembali sistem
kelembagaan yaitu kombongan Karopi untuk meninjau kembali aturan adat yang
berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan
masyarakat. salah satunya meninjau kembali sistem kekerabatan yang bertolak
belakang dengan adat pemakaman dan penggunaan sumber daya yang berlebihan, agar
adat pemakaman Tana Toraja relevan dengan kehidupan Indonesia saat ini tanpa
merusak budaya yang telah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar